MASYARAKAT PESISIR
BUNAKEN
SEJARAH KAWASAN
Gambar1.
Bunaken
Bunaken
adalah nama sebuah pulau yang terletak di mulut Teluk Manado, yang berdekatan
dengan Tanjung
Pisok. Pulau ini sejak awal
1980-an menjadi magnet bagi para penyelam wisata bawah laut karena keanekaragaman
biota dan topografi terumbu karang yang terjal. Lambat laun, nama Bunaken
diambil untuk kawasan konservasi taman nasional laut di Sulawesi Utara.
Lokasi
taman nasional ini meliputi bagian utara Pulau Bunaken, Siladen, Manado Tua,
Mantehage, Nain dan sekitar perairan Meras hingga Tiwoho di Pulau Sulawesi. Di bagian selatan mulai dari pantai Poopoh hingga
Wawontulap. Setiap lokasi ini memiliki keunikan dan keunggulan sendiri.
Awalnya, kawasan ini berada di Kota Madya Manado dan Kabupaten Minahasa.
Seiring dengan perkembangan dan dampak otonomi daerah, kawasan ini telah
meliputi, Kota Madya Manado, Kabupaten Minahasa (induk), Minahasa Selatan dan
Minahasa Utara.
Penduduk
di kawasan TN Bunaken diperkirakan telah lama mendiami pulau-pulau dan pesisir
Pulau Sulawesi. Ada
banyak cerita perpindahan penduduk ke lokasi tersebut, terutama yang datang
dari Kepulauan Sangihe dan keturunan pelaut Bajau (Bajo). Etnis Sangihe
paling dominan mendiami kawasan TN Bunaken. Mereka ini kebanyakan berasal dari Pulau Siau,
Kabupaten Sangihe, yang dikenal dengan gunung api Karangetang.
Sedangkan
keturunan Bajo, yang sekarang ini tinggal di Pulau Nain dan pesisir Arakan
(Rap-rap), diceritakan melakukan eksodus dari Gowa, Sulawesi Selatan, sekitar
tahun 1698. Dengan menggunakan sembilan buah perahu, sebanyak 112 jiwa ini
mulanya menetap di pesisir kampung Kima Bajo dan Talawaan Bajo.
Di pesisir Minahasa, Pulau Sulawesi,
ini mereka mendirikan daseng (rumah kecil dan sederhana di laut). Etnis pelaut
ini juga ada yang menyebar di Burau, Kalimantan, dan Filipina. Kedatangan suku Bajo ini
mencari kima (Tridacna spp) dan ikan.
Setelah
satu abad lebih mendiami pesisir kampung Kima
Bajo, tahun 1823, orang Bajo ini pindah ke Pulau Nain.
Selain itu, ada yang migrasi ke pesisir
Likupang dan Bitung. Selanjutnya, dari Pulau Nain, beberapa keluarga Bajo ada
yang mendirikan daseng di utara Pulau Mantehage dan pindah ke Rap-rap.
Untuk mendapatkan makanan dari hasil pertanian, keluarga
Bajo menukarkan hasil tangkapan ikannya dengan keluarga etnis Sangihe. Sistem
barter ini bertahan cukup lama. Di kawasan TN Bunaken, selain etnis Sangihe dan
Bajo, terdapat etnis Minahasa, Gorontalo, Bugis, Bolaang Mongondow, Buton dan
Ternate.
Meski dikelilingi laut, kehidupan penduduk kawasan
Bunaken, tidak sepenuhnya bergantung pada sumberdaya laut, terutama bagi etnis
Sangihe. Bila musim hujan,
rakyat setempat ada yang bertani, selain mencari ikan. Karena itu, ada istilah
KKO (ka lao ka dara ore) dari rakyat setempat. KKO ini artinya ke laut dan ke
darat oke. Bila musim hujan, terutama di bulan September, Oktober, November dan
Desember, mereka bercocok tanam. Yang ditanam padi ladang, ketela pohon,
pisang, sayur-mayur dan tanaman lainnya. Selain itu, di lahan-lahan warga ini
terdapat pula pohon kelapa. Sedangkan musim kemarau, terutama pada bulan Mei,
Juni dan Juli mereka melaut.
TRADISI MASYARAKAT PESISIR BUNAKEN
Pulau Bunaken yang berbentuk seperti bulan sabit itu, memiliki luas 696,8 ha. Pulau Bunaken ini memiliki spot-spot penyelaman andalan dan mengalami tekanan dalam hal jumlah turis yang masuk ke Bunaken. Di Pulau Bunaken terdapat dua desa. Pertama, Desa Bunaken dengan wilayah administrasi hingga ke Tanjung Parigi dan Pulau Siladen. Kedua, Desa Alungbanua. hukum adat yang masih dipertahankan dalam tata cara membangun rumah, berkebun, serta pembuatan perahu besar, perahu bercadik (londe) dan peluncurannya. Saat berkebun, hal pertama yang dilakukan adalah pembabatan yang diawali dengan pembacaan mantera. Tujuannya agar tanaman terhindar dari serangan hama.
Untuk menanam padi,
misalnya, didahului dengan penanaman pisang goroho atau mas, cakar bebek dan
ganda rusa. Makna yang terkandung dalam kebiasaan ini agar padi menjadi subur
dan banyak menghasilkan butir-butir padi. Ketika padi sudah berbuah, harus
diberi telur, cermin dan pohon bambu. Pantangan bila akan memetik padi,
dilakukan pemotongan kayu atau pohon yang ada di sekitar kebun itu. Jika
dilanggar, akan ada serangan hama tikus dan burung. Setelah ada hasil, yang
pertama diberi makan adalah peralatan yang digunakan untuk berkebun.
Dalam pembuatan perahu besar atau skoter, tidak
sembarangan menebang pohon. Pohon yang akan digunakan untuk pembuatan perahu
harus dipotong saat bulan mati di langit. Ini dimaksudkan agar kayu yang
digunakan tidak mudah lapuk atau diserang serangga. Menebang pohon dilakukan pada hari genap, Selasa, Kamis
dan Sabtu. Sedangkan dalam pembuatan londe, pasak perahu atau paku terbuat dari
kayu yang jumlahnya genap. Haluan dan buritan juga perlu untuk dilubangi. Di
dalam lubang itu dimasukkan emas. Maknanya, agar
perahu mendatangkan hasil yang banyak.
Gambar2.
Tarian cakalele
Dalam berkesenian, masih
ditemukan tradisi masamper dan tarian cakalele. Masamper termasuk salah satu
jenis pesta dengan melantunkan lagu-lagu. Tradisi masamper, menurut Ulaen,
tidak lepas dari unsur kesenian-gereja yang diperkenalkan oleh pekabaran injil.
Kesenian ini berkembang pesat dan paling menonjol karena adanya tradisi serupa
dalam budaya orang Sangihe dan Talaud pra-Kristen, terutama masambo. Tradisi
masamper ini tidak hanya sekadar bernyanyi bersama yang disertai dengan gerak
tari si pembawa lagu. Ulaen mengemukakan bahwa pengaturan tempat dalam tradisi
masamper selalu membentuk sebuah bulatan. Orang-orang yang terlibat dalam
masamper ini membiarkan bagian tengahnya kosong. Ini yang menjadi tempat bagi
mereka yang mendapat giliran memimpin lagu.
KEHIDUPAN MASYARAKAT PESISIR BUNAKEN
Secara georafis Pulau Bunaken terletak di Teluk Manado
dengan di posisi sebelah barat ada Pulau Manado Tua sebelah Timur Pulau Siladen
dan disebelah utara Pulau Nain dan Mantehage. Kebanyakan masyarakat hidup dari
mata pencarian nelayan dengan mengandalkan alat tangkap tradisional seperti
Funae, Pelang, Katinting dan Londe. Letak pulau yang langsung berhadapan dengan
laut Sulawesi sebenarnya membuat potensi perikanan sangat besar, karena laut
Sulawesi dan Perairan sekitar yang langsung berhubungan dengan Samudera Pasific
dikenal sebagai daerah tangkapan ikan yang sangat besar, namun sayang peralatan
yang digunakan masyarakat nelayan Pulau Bunaken masih bersifat tradisional
yaitu dengan menggunakan pancing ”Buhati”.
Lebih dari 20.000 jiwa penduduk yang hidup dalam kawasan
Bunaken. Penduduk di kawasan ini umumnya mencari
makan di laut atau bertani. Banyak yang masih menggunakan perahu cadik dan jala
tradisional. Sebagian penduduk Pulau
Nain ahli pertukangan dan membuat
cendera mata dari kulit kerang. Penduduk suku Bajo melewatkan sebagian besar
waktu di daseng (bagan), perkampungan di atas air sekitar Pulau Mantehage.
Penduduk yang berasal daratan Sulawesi
kebanyakan dari suku Minahasa, terlihat dalam cara
menggunakan berbagai pohon woka. Penduduk yang lain umumnya pendatang dari Kepulauan Sangir Talaud.
Gambar 3. Mata pencaharian sebagian
besar masyarakat pesisir Bunaken sebagai nelayan.
Interaksi
antar budaya relatif tinggi, terlihat dari penggunaan dialek bahasa yang sama,
serta kesamaan teknik-teknik pemanfaatan potensi sumber daya alam. Beberapa
akomodasi dilakukan oleh etnis tertentu, sebagai hasil interaksinya dengan
kelompok lainnya. Pemilikan lahan umumnya masih bersifat hak adat, berupa tanah
warisan (pasini). Tidak terdapat
sistem pemilikan atas rataan terumbu dan perairan dangkal. Keberadaan
masyarakat setempat, terdiri dari sekitar tujuh kelompok suku, yang lebih dari
tiga generasi lalu, diperkirakan telah membentuk suatu keseimbangan ekologis
tertentu.
Hasil dari tangkapan ikan dari nelayan pesisir Bunaken di
jual ke Manado lewat pelelangan ikan yang ada di Manado. Sampai saat ini ini
informasi yang ada menyatakan bahwa tidak ada pabrik ikan atau pengumpul yang
menampung ikan hasil tangkapan dari nelayan mungkin karena volumenya kecil atau
penanganan pasca tangkap yang tidak sesuai dengan standar produksi perikanan.
Jadi ikan yang dihasilkan saat ini sebagian ditujukan untuk dikonsumsi oleh
masyarakat baik di Manado ataupun didaerah sekitarnya.
Pulau Bunaken sudah dikenal di Dunia dengan keindahan
taman lautnya, namun menurut pengamatan tidak banyak masyarakat yang
mendapatkan manfaat dari Bunaken sebagai objek wisata hal ini dibuktikan dengan
masih diandalkannya profesi nelayan sebagai mata pencarian utama. Sementara
sekarang banyak nelayan yang sudah tidak melaut lagi disebabkan tingginya biaya
operasi akibat harga minyak yang sangat mahal. Seharusnya disaat seperti ini
masyarakat bisa beralih kepada alternatif mata pencarian dalam hal ini
memanfaatkan potensi objek wisata taman laut Bunaken, namun yang kita temukan
hanya sebagian kecil masyarakat saja yang bisa memanfaatkan potensi pariwisata
tersebut dengan membuat perahu-perahu untuk transportasi turis ke taman laut
atau ada juga yang berdagang cendera mata. Hal ini belumlah sepadan dengan
keterpopuleran taman laut Bunaken yang sudah menjangkau dunia internasional.
No comments:
Post a Comment