Thursday, May 17, 2012

Masyarakat Pesisir Bunaken

MASYARAKAT PESISIR BUNAKEN

 

SEJARAH KAWASAN
 


Gambar1. Bunaken

Bunaken adalah nama sebuah pulau yang terletak di mulut Teluk Manado, yang berdekatan dengan Tanjung Pisok. Pulau ini sejak awal 1980-an menjadi magnet bagi para penyelam wisata bawah laut karena keanekaragaman biota dan topografi terumbu karang yang terjal. Lambat laun, nama Bunaken diambil untuk kawasan konservasi taman nasional laut di Sulawesi Utara.

Lokasi taman nasional ini meliputi bagian utara Pulau Bunaken, Siladen, Manado Tua, Mantehage, Nain dan sekitar perairan Meras hingga Tiwoho di Pulau Sulawesi. Di bagian selatan mulai dari pantai Poopoh hingga Wawontulap. Setiap lokasi ini memiliki keunikan dan keunggulan sendiri. Awalnya, kawasan ini berada di Kota Madya Manado dan Kabupaten Minahasa. Seiring dengan perkembangan dan dampak otonomi daerah, kawasan ini telah meliputi, Kota Madya Manado, Kabupaten Minahasa (induk), Minahasa Selatan dan Minahasa Utara.

Penduduk di kawasan TN Bunaken diperkirakan telah lama mendiami pulau-pulau dan pesisir Pulau Sulawesi. Ada banyak cerita perpindahan penduduk ke lokasi tersebut, terutama yang datang dari Kepulauan Sangihe dan keturunan pelaut Bajau (Bajo). Etnis Sangihe paling dominan mendiami kawasan TN Bunaken. Mereka ini kebanyakan berasal dari Pulau Siau, Kabupaten Sangihe, yang dikenal dengan gunung api Karangetang.

Sedangkan keturunan Bajo, yang sekarang ini tinggal di Pulau Nain dan pesisir Arakan (Rap-rap), diceritakan melakukan eksodus dari Gowa, Sulawesi Selatan, sekitar tahun 1698. Dengan menggunakan sembilan buah perahu, sebanyak 112 jiwa ini mulanya menetap di pesisir kampung Kima Bajo dan Talawaan Bajo. Di pesisir Minahasa, Pulau Sulawesi, ini mereka mendirikan daseng (rumah kecil dan sederhana di laut). Etnis pelaut ini juga ada yang menyebar di Burau, Kalimantan, dan Filipina. Kedatangan suku Bajo ini mencari kima (Tridacna spp) dan ikan.

Setelah satu abad lebih mendiami pesisir kampung Kima Bajo, tahun 1823, orang Bajo ini pindah ke Pulau Nain. Selain itu, ada yang migrasi ke pesisir Likupang dan Bitung. Selanjutnya, dari Pulau Nain, beberapa keluarga Bajo ada yang mendirikan daseng di utara Pulau Mantehage dan pindah ke Rap-rap.

Untuk mendapatkan makanan dari hasil pertanian, keluarga Bajo menukarkan hasil tangkapan ikannya dengan keluarga etnis Sangihe. Sistem barter ini bertahan cukup lama. Di kawasan TN Bunaken, selain etnis Sangihe dan Bajo, terdapat etnis Minahasa, Gorontalo, Bugis, Bolaang Mongondow, Buton dan Ternate.

Meski dikelilingi laut, kehidupan penduduk kawasan Bunaken, tidak sepenuhnya bergantung pada sumberdaya laut, terutama bagi etnis Sangihe. Bila musim hujan, rakyat setempat ada yang bertani, selain mencari ikan. Karena itu, ada istilah KKO (ka lao ka dara ore) dari rakyat setempat. KKO ini artinya ke laut dan ke darat oke. Bila musim hujan, terutama di bulan September, Oktober, November dan Desember, mereka bercocok tanam. Yang ditanam padi ladang, ketela pohon, pisang, sayur-mayur dan tanaman lainnya. Selain itu, di lahan-lahan warga ini terdapat pula pohon kelapa. Sedangkan musim kemarau, terutama pada bulan Mei, Juni dan Juli mereka melaut.

 

TRADISI MASYARAKAT PESISIR BUNAKEN

          
Pulau Bunaken yang berbentuk seperti bulan sabit itu, memiliki luas 696,8 ha. Pulau Bunaken ini memiliki spot-spot penyelaman andalan dan mengalami tekanan dalam hal jumlah turis yang masuk ke Bunaken. Di Pulau Bunaken terdapat dua desa. Pertama, Desa Bunaken dengan wilayah administrasi hingga ke Tanjung Parigi dan Pulau Siladen. Kedua, Desa Alungbanua. hukum adat yang masih dipertahankan dalam tata cara membangun rumah, berkebun, serta pembuatan perahu besar, perahu bercadik (londe) dan peluncurannya. Saat berkebun, hal pertama yang dilakukan adalah pembabatan yang diawali dengan pembacaan mantera. Tujuannya agar tanaman terhindar dari serangan hama.

            Untuk menanam padi, misalnya, didahului dengan penanaman pisang goroho atau mas, cakar bebek dan ganda rusa. Makna yang terkandung dalam kebiasaan ini agar padi menjadi subur dan banyak menghasilkan butir-butir padi. Ketika padi sudah berbuah, harus diberi telur, cermin dan pohon bambu. Pantangan bila akan memetik padi, dilakukan pemotongan kayu atau pohon yang ada di sekitar kebun itu. Jika dilanggar, akan ada serangan hama tikus dan burung. Setelah ada hasil, yang pertama diberi makan adalah peralatan yang digunakan untuk berkebun.

            Dalam pembuatan perahu besar atau skoter, tidak sembarangan menebang pohon. Pohon yang akan digunakan untuk pembuatan perahu harus dipotong saat bulan mati di langit. Ini dimaksudkan agar kayu yang digunakan tidak mudah lapuk atau diserang serangga. Menebang pohon dilakukan pada hari genap, Selasa, Kamis dan Sabtu. Sedangkan dalam pembuatan londe, pasak perahu atau paku terbuat dari kayu yang jumlahnya genap. Haluan dan buritan juga perlu untuk dilubangi. Di dalam lubang itu dimasukkan emas. Maknanya, agar perahu mendatangkan hasil yang banyak.

Gambar2. Tarian cakalele

            Dalam berkesenian, masih ditemukan tradisi masamper dan tarian cakalele. Masamper termasuk salah satu jenis pesta dengan melantunkan lagu-lagu. Tradisi masamper, menurut Ulaen, tidak lepas dari unsur kesenian-gereja yang diperkenalkan oleh pekabaran injil. Kesenian ini berkembang pesat dan paling menonjol karena adanya tradisi serupa dalam budaya orang Sangihe dan Talaud pra-Kristen, terutama masambo. Tradisi masamper ini tidak hanya sekadar bernyanyi bersama yang disertai dengan gerak tari si pembawa lagu. Ulaen mengemukakan bahwa pengaturan tempat dalam tradisi masamper selalu membentuk sebuah bulatan. Orang-orang yang terlibat dalam masamper ini membiarkan bagian tengahnya kosong. Ini yang menjadi tempat bagi mereka yang mendapat giliran memimpin lagu.






 

KEHIDUPAN MASYARAKAT PESISIR BUNAKEN
 

Secara georafis Pulau Bunaken terletak di Teluk Manado dengan di posisi sebelah barat ada Pulau Manado Tua sebelah Timur Pulau Siladen dan disebelah utara Pulau Nain dan Mantehage. Kebanyakan masyarakat hidup dari mata pencarian nelayan dengan mengandalkan alat tangkap tradisional seperti Funae, Pelang, Katinting dan Londe. Letak pulau yang langsung berhadapan dengan laut Sulawesi sebenarnya membuat potensi perikanan sangat besar, karena laut Sulawesi dan Perairan sekitar yang langsung berhubungan dengan Samudera Pasific dikenal sebagai daerah tangkapan ikan yang sangat besar, namun sayang peralatan yang digunakan masyarakat nelayan Pulau Bunaken masih bersifat tradisional yaitu dengan menggunakan pancing ”Buhati”.
Lebih dari 20.000 jiwa penduduk yang hidup dalam kawasan Bunaken. Penduduk di kawasan ini umumnya mencari makan di laut atau bertani. Banyak yang masih menggunakan perahu cadik dan jala tradisional. Sebagian penduduk Pulau Nain ahli pertukangan dan membuat cendera mata dari kulit kerang. Penduduk suku Bajo melewatkan sebagian besar waktu di daseng (bagan), perkampungan di atas air sekitar Pulau Mantehage. Penduduk yang berasal daratan Sulawesi kebanyakan dari suku Minahasa, terlihat dalam cara menggunakan berbagai pohon woka. Penduduk yang lain umumnya pendatang dari Kepulauan Sangir Talaud.
Gambar 3. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat pesisir Bunaken sebagai nelayan.
Interaksi antar budaya relatif tinggi, terlihat dari penggunaan dialek bahasa yang sama, serta kesamaan teknik-teknik pemanfaatan potensi sumber daya alam. Beberapa akomodasi dilakukan oleh etnis tertentu, sebagai hasil interaksinya dengan kelompok lainnya. Pemilikan lahan umumnya masih bersifat hak adat, berupa tanah warisan (pasini). Tidak terdapat sistem pemilikan atas rataan terumbu dan perairan dangkal. Keberadaan masyarakat setempat, terdiri dari sekitar tujuh kelompok suku, yang lebih dari tiga generasi lalu, diperkirakan telah membentuk suatu keseimbangan ekologis tertentu.
Hasil dari tangkapan ikan dari nelayan pesisir Bunaken di jual ke Manado lewat pelelangan ikan yang ada di Manado. Sampai saat ini ini informasi yang ada menyatakan bahwa tidak ada pabrik ikan atau pengumpul yang menampung ikan hasil tangkapan dari nelayan mungkin karena volumenya kecil atau penanganan pasca tangkap yang tidak sesuai dengan standar produksi perikanan. Jadi ikan yang dihasilkan saat ini sebagian ditujukan untuk dikonsumsi oleh masyarakat baik di Manado ataupun didaerah sekitarnya.

Pulau Bunaken sudah dikenal di Dunia dengan keindahan taman lautnya, namun menurut pengamatan tidak banyak masyarakat yang mendapatkan manfaat dari Bunaken sebagai objek wisata hal ini dibuktikan dengan masih diandalkannya profesi nelayan sebagai mata pencarian utama. Sementara sekarang banyak nelayan yang sudah tidak melaut lagi disebabkan tingginya biaya operasi akibat harga minyak yang sangat mahal. Seharusnya disaat seperti ini masyarakat bisa beralih kepada alternatif mata pencarian dalam hal ini memanfaatkan potensi objek wisata taman laut Bunaken, namun yang kita temukan hanya sebagian kecil masyarakat saja yang bisa memanfaatkan potensi pariwisata tersebut dengan membuat perahu-perahu untuk transportasi turis ke taman laut atau ada juga yang berdagang cendera mata. Hal ini belumlah sepadan dengan keterpopuleran taman laut Bunaken yang sudah menjangkau dunia internasional.




No comments:

Post a Comment